Jawaban Modul 1 Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi
sdnsobang1.com – Jawaban Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi. Sebelumnya admin telah berbagi Jawaban Modul 1 Konsep Dasar Literasi dan Numerasi. Kali ini admin update artikel kembali terkait Diklat/Bimtek Literasi dan Numerasi pada SIMPKB.
Berikut dibawah ini Jawaban
Modul 1 Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi
1. Menelusuri
literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat
panjang, melampaui peluncuran pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai
global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa
literasi tulis-menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak
kehadiran Hindu dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang.
Di masa Hindu dan Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di
era Islam berkembang bahasa Arab dengan
aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu. Bahkan berdasarkan penuturan beberapa
arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra
sejarah ribuan tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari
Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia
mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis
juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki
kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan
tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan
salah satunya. Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda
antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di
Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun
palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan
tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta,
disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat
(https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari perspektif ini maka
masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri
telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020).
Literasi pada
mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf
ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu
diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya,
dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi
ini -plus kemampuan menghitung- sering diistilahkan sebagai literasi dasar
(basic literacy). Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, apatah lagi di era digital saat ini, maka konsep dan
definisi serta pemaknaan literasi kian kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam
literasi dasar yang diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) hingga
literasi untuk kesejahteraan (functional literacy dalam istilah UNESCO di tahun
1965). Dari pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa
seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan
menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya
sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami,
menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi
cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2004, 2017).
Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah menekankan pada
pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan
yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan.
Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran dalam memampukan
individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, mengembangkan
pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di dalam
komunitas mereka dan masyarakat luas
(UIS, UNESCO, 2018).
Berangkat dari
variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya
dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa tertentu adalah rendah literasinya
maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna
literasi yang dimaksud. Penentuan konsep,
definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan
indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat
literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam
mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara
proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur
kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya (2018)
yaitu:
1. Literasi
adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat menjadikannya sebagai sarana
berkomunikasi dan berekspresi, melalui berbagai media;
2. Literasi
bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu dan
menggunakan bahasa tertentu;
3. Literasi
melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang
berbeda.
Ada pandangan
yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan
berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading literacy)
utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana menurut
bapak dan ibu mengenai hal ini?
Jawaban:
Tradisi bertutur atau lisan merupakan
pondasi dasar bagi pengembangan bahasa. Dimana hal itu merupakan landasan pokok
dari tumbuh kembangnya literasi membaca dan menulis. Padahal di masyarakat,
seringkali terjadi miss persepsi ketika tradisi bertutur dipandang menghambat
tradisi membaca dan menulis.
Konsep dan makna literasi tidak
monolitik, artinya makna literasi terus berkembang seiring dengan dinamika
masyarakat maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Literasi
nampaknya tidak hanya berupa aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga
bertutur yang merupakan awal dari literasi membaca dan menulis
Di masa pra sejarah bahwasanya Indonesia
telah mengenal literasi visual, simbol, gambar, bahasa tumbuh dan membaca
tanda-tanda alam.bertutur merupakan tradisi paling awal dalam kehidupan manusia
sebelum mengenal tulisan atau alfabet.
Maka yang paling awal dari kehidupan
manusia adalah bercerita atau bertutur ini tidak bisa dihindari, karena kita
adalah makhluk sosial yang memiliki bahasa sebagai perangkat simbol yang paling
efektif untuk menyampaikan gagasan, pikiran
Jawaban Sistem:
Kelisanan dan
literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika
sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah
menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih
jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka
terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke
generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan
budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan
suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang
dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga
bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis)
(al Alusi, t.t.; 38-48) dan bangsa
Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa
menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan
menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah
kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga
karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai
literate society, namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa
lisan bisa dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan
literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara
pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan
budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks
masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang
menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya
kebiasaan bertutur (orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa
(language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan
berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik
bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja
literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa
lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid
mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar,
kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan
keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok
konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22).
Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam
kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid
mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa
paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98).
Dari berbagai
penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut melengkapi
suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi
pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar,
diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap
dan sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan
kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau
menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan
budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging
literacy. Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak
merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang
serentak dan saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini
dapat dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan
bercerita (Akhadiah, 1998; 33-35).
Di rumah,
murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan
perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep
tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral
language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita,
bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit
ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan
awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan
belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas.
Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua
berbicara ke murid-murid mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi
pengetahuan apa yang murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan
mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika
membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan
asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).
2. Di masyarakat
terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca, menulis
dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan
kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?
Jawaban:
membaca dan menulis pada usia anak
sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya
baru diajarkan di SD. Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya
adalah aktivitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan,
sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak
secara optimal dikemudian hari. Namun bisa diajarkan Calistung sejak usia dini
dengan syarat mereka tidak pernah merasa belajar dan terlihat seperti bermain
dengan suasana yang gembira.
Jawaban Sistem:
Sebenarnya murid
usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya
literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara
yang menyenangkan dan tidak dipaksa.
Pandangan tentang murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh
tuntutan saat memasuki sekolah dasar. Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang
tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Namun terdapat anggapan bahwa murid yang tidak bisa calistung maka akan
menjumpai kesulitan ketika memasuki
jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks
pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.
Pada beberapa
sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di
sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid
sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca dan menulis. Di
masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan
kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi ketika murid
lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola pikir orangtua
ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung)
pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai
potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada
dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme
pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid
(developmentally appropriate practice).
Mengikuti
penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis
tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran
langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi
dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri
berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan
bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara
alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam
Akhadiah, 1998; 35
3. Lazim di
masyarakat bahwa aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan
secara formal dengan instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di
pendidikan murid usia dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas
dengan bermain maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak
berliterasi. Apa tanggapan bapak ibu perihal ini?
Jawaban:
Bagaimana cara atau metode mengajar anak
usia dini untuk berliterasi harus benar-benar diperhatikan. Mengajar bagi anak usia dini harus dilakukan
dengan suasana gembira, tidak formal atau serius seperti mengajar anak yang
sudah usia SD karena ini akan menimbulkan kejenuhan atau rasa bosan pada anak
Jawaban Sistem:
Dunia murid usia
dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar murid usia
dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita dengan
sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan
seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas
meja, harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran,
diam seribu bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan
oleh bapak ibu guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah
aktivitas bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid.
Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah
apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu
kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam
dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).
Literasi
seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan
bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui
kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain.
murid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan
masa depan mereka. Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik,
perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya.
Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca,
tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.
Melalui bermain,
murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang sangat
kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari bahasa
lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian. Mulai
dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada
di sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga dapat dilakukan secara
natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi.
Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain. Mulai bermain tebak-tebakan kata,
mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan
mewarnai gambar diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari
murid-murid, memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis
sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan
kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan sebagainya.
Lingkungan
literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi
pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca menulis dan
berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan dari
aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung
digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman
pra-membaca yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik
belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan
melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan
dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka,
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD,
konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan
murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan
dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya.
Bagi siswa-siswi
SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka miliki
untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan
mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para
siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat
variatif. Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang
menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling
membacakan buku, membuat dan mengisi majalah
dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis
buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi kegiatan yang
mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan
mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.
4. Benarkah
definisi dan konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara (huruf)?
Jawaban:
Literasi nampaknya tidak hanya berupa
aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga bertutur yang merupakan awal dari
literasi membaca dan menulis. Mengenal literasi visual, simbol, gambar, bahasa
juga termasuk literasi
Jawaban Sistem:
Secara
etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang
diartikan pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang
mengetahui (aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf.
Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera,
artinya huruf alfabet. Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus
diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda,
literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan
definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan
mengenai literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika
program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan
seseorang dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam
suatu negara dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif
ideologis bangsa atau kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat
membaca aksara, kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan
demikian, terbelakang dan harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12).
Padahal dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan konsep, definisi,
dan makna yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada.
Literasi membaca pada umumnya selalu
diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara (huruf). Membaca secara dominan
selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui bahasa tulis
(Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan adalah suatu proses
kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis.
Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks tertulis atau
berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki
makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa
aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi
hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dilacak
dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan,
gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh
orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan
peristiwa. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat
komunikasi antar manusia pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam
bentuk gambar, ilustrasi, material dari media massa seperti iklan, poster,
infografis, juga presentasi visual dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan peta
maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk di dalam literasi membaca
tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan
oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara terdahulu hingga masih
dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti membaca
bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion)
dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto
mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau tidak,
dan sebagainya.
5. Betulkah
literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada kaitannya
dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?
Jawaban:
Tidak, aktivitas menyimak dan berbicara
serta aktivitas visual termasuk kemampuan literasi
Jawaban Sistem:
Miskonsepsi
berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik dengan
membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh
pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep
literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan
menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan
keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu
dengan yang lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti,
2002; 278-279). Aktivitas proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat
keterampilan (seni) berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir,
berkomunikasi dan belajar seseorang.
Keempat
keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi
dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak
kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi
janin di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan
Golant, 1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan
pengasuhan 1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum,
pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian
orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus
(Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan
literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak
berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi,
membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan
(immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy
environment).
Memakai konsep
sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan
pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan
kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik
(Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid,
terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya
ditandai dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan
pengolahan informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24).
murid-murid usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa
penyempurnaan selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana
aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun
rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya,
remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan
istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar
akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang
menggunakan ironi, permainan kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih
terampil dalam menggunakan perspektif
sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat
pengetahuan dan sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan
Feldman, 2014; 27). Berbasis pada
konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan
perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi
penggunaan dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak
parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam
strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di
dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada
format aktivitas membaca semata.
Apalah lagi di
era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang banjir
stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital
dalam desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film
(Dewayani, 2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi,
hiburan dan permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya.
Literasi kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan
berbahasa itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara
fungsional. Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai
kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini. Literasi
tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk aktivitas
membaca. Oleh karenanya, media
multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa
lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi
bagian penting dari kehidupan siswa. Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan
Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi adalah kemampuan mengakses,
memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas,
antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (GLS,
2017).
6. Literasi
adalah pelajaran bahasa dan sastra. Karenanya apapun aktivitas yang disebut
sebagai literasi merupakan kewenangan, kompetensi dan tanggung jawab guru
pelajaran bahasa dan sastra.
Pertanyaan:
Apa tanggapan
bapak dan ibu tentang pernyataan tersebut di atas?
Jawaban:
Aktivitas
literasi dapat dilakukan pada semua mata pelajaran bahkan kegiatan olahraga dan
keterampilan serta kesenian juga memiliki peran penting dalam mengembangkan
kemampuan literasi
Jawaban Sistem:
Kebanyakan kita
begitu mendengar kata literasi, pastilah membayangkan dengan mata pelajaran
bahasa dan sastra. Jika dalam konteks Indonesia, berarti identik dengan bahasa
dan sastra Indonesia. Pandangan ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kenyataan
masyarakat sehari-hari, bahkan di dunia pendidikan baik di sekolah dasar dan
menengah hingga perguruan tinggi. Persepsi kita tentang literasi biasanya
diasosiasikan dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan membaca buku, puisi,
berpidato dan semacamnya, mengarang cerita pendek (cerpen) dan novel, bercerita
berupa dongeng, hikayat, legenda dan sebagainya. Pendapat umum ada yang
menyatakan literasi adalah bahasa dan sastra, literasi itu bagian dari mata
pelajaran dan mata kuliah bahasa dan sastra, literasi itu ‘milik’ dan ranah
ilmu linguistik. Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan kompetensi para
guru bahasa dan sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah disiplin
ilmu dosen bahasa, sastra dan budaya.
Guru dan dosen yang secara formal tidak mempelajari bahasa dan sastra
merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami, menguasai dan terampil
literasi. Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang luas anggapan bahwa
literasi secara konsep maupun substansi, baik dalam teori maupun praktik, tidak
ada hubungan sama sekali dengan bidang-bidang yang lainnya.
Sebenarnya jika
literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat menggantikan
istilah ‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun 1940,
istilah literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun
keterampilan di satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi
statistik, literasi media, literasi sosial, literasi ekologis, literasi
bencana, literasi kesehatan (https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy), literasi
parenting dan sebagainya, selain literasi baca tulis dan literasi numerik
sebagai literasi dasar (basic literacy).
Ada yang sangat
menarik, terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya. Hampir sebagian besar siswa meyakini
matematika sebagai mata pelajaran yang
sulit dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan
membaca yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam
memahami matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif,
menjelaskan rumus-rumus yang ada secara aplikatif dengan menggunakan
contoh-contoh berupa cerita yang sederhana dan menarik, mengoptimalkan otak kanan, utamanya
kecerdasan bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan penalaran yang terkandung
di dalam matematika serta mengenali bahwa matematika sebagai media kreatif.
Dengan keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari literasi bahasa baik
berupa baca dan tulis tersebut, maka matematika menjadi lebih mudah dan
menyenangkan. Dari pola seperti ini, tentunya dapat diterapkan di dalam
mempelajari dan mengajarkan mata pelajaran ataupun mata kuliah yang berbasis
matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu pengetahuan yang lain maupun
teknologi.
Berikut dibawah ini Kumpulan Link Soal dan Jawaban Bimtek
Literasi dan Numerasi MODUL 1:
1. Soal
dan Jawaban Tes Awal Bimtek Literasi dan Numerasi (DISINI)
2. Jawaban
Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi (DISINI)
3. Jawaban
Studi Kasus Konsep Dasar Literasi (DISINI)
4. Jawaban
Studi Kasus Konsep Dasar Numerasi (DISINI)
5. Jawaban
Miskonsepsi Perkembangan Literasi 1 (DISINI)
6. Jawaban
Miskonsepsi Perkembangan Literasi 2 (DISINI)
7. Jawaban
refleksi Miskonsepsi (DISINI)
8. Jawaban
Studi Kasus Perkembangan Literasi (DISINI)
9.
Jawaban Refleksi Miskonsepsi Numerasi (DISINI)
10.
Studi Kasus Perkambangan Numerasi (DISINI)
11.
Miskonsepsi Proses Pemrofilan Perkambangan Literasi (DISINI)
12. Studi Kasus Proses Pemrofilan Perkambangan
Literasi (DISINI)
13.
Evaluasi Uji Pemahaman Unggah Profilling Peserta Didik (DISINI)
Berikut dibawah ini Kumpulan Link Soal dan Jawaban Bimtek
Literasi dan Numerasi MODUL 2:
1.
Implementasi Literasi dalam Pembelajaran Studi Kasus SD (DISINI)
2.
Implementasi Literasi dalam Pembelajaran Studi Kasus 1 di SMP (DISINI)
3.
Implementasi Literasi dalam Pembelajaran Studi Kasus 2 di SMP (DISINI)
4.
Kuis Asesmen Pasca Aktivitas Penyusunan Program Literasi dan Numerasi
Berdasarkan Profile Peserta Didik (DISINI)
5. Evaluasi
Unggah Rancangan Penyusunan Program Literasi dan Numerasi (DISINI)
Berikut
dibawah ini Kumpulan Link Soal dan Jawaban Bimtek Literasi dan Numerasi MODUL 3:
1.
Studi Kasus Praktik Baik Literasi dan Numerasi di Sekolah (DISINI)
2. Kuis Pentingnya
Praktik Baik Literasi dan Numerasi di Lingkungan Keluarga (DISINI)
3. Forum Diskusi
Miskonsepsi Praktik Baik Literasi dan Numerasi di Masyarakat (DISINI)
4. Uji
Pemahaman Literasi dan Numerasi di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat (DISINI)
5.
Tes Akhir Bimtek Literasi dan Numerasi (DISINI)
6.
Laporan Pengembangan Diri Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi
Seri Literasi dan Numerasi (DISINI)
Berikut Contoh Video Pengimbasan BIMTEK GURU BELAJAR SERI LITERASI DAN NUMERASI, yang bisa sahabat lihat untuk sebagai contoh/bahan referensi bagi sahabat yang akan membuat video Pengimbasan. Jangan lupa LIKE, SHARE dan SUBSCRIBE ya...
Demikian artikel kali ini yang bisa admin bagikan terkait Jawaban Modul 1 Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi. Selamar mengerjakan Diklat/Bimtek semoga lolos dan mendapatkan sertifikat. Semoga artikel ini bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung.
Posting Komentar untuk "Jawaban Modul 1 Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi"
Silahkan Tinggalkan Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan!